Minggu, 05 Juni 2011

PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN


BAB I
PENDAHULUAN

I.  LATAR BELAKANG MASALAH
            Perceraian merupakan bagian dari perkawinan. Karena itu perceraian senantiasa diatur oleh hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang ada di Indonesia tidak hanya satu macam. Hal ini disebabkan oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal 163 IS ( Indische Staatsregeling ) yang telah membagi golongan penduduk indonesia menjadi tiga golongan yaitu ; golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan bumi putera.
Pemerintah Indonesia dengan instruksi Presidium Kabinet Ampera No : 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966 telah menghapus golongan penduduk yang berdasar pasal 163 IS dan dengan ini secara formal Pemerintah Indonesia hanya mengenal perbedaan dua golongan penduduk, yaitu warga negara Indonesia dan orang Asing. Tetapi apakh apakah dengan penghapusan ketentuan-ketentuan dalam pasal 131 IS, sudah dapat dicairkan ( dibidang hukum perdata ) sedang sebenarnya pasal 131 IS itu yang menjadi dasar pelbagai macam peraturan hukum perkawinan itu adalah konsekuensi dari kebijaksanaan yang diatur dalam pasal 163 IS tersebut. Melihat kepada kenyataan masih terdapat pelbagai hukum perkawinan, berarti hukum antar golongan masih berlaku juga. Hanya karena golongan sudah dihapus, maka tentu istilah tidak lagi golongan warga negara, tetapi menjadi golongan hukum ( rechtgroup ) untuk sebagian warga negara. Dengan demikian instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966 belum menghapus pluralisme hukum perdata di Indonesia  berdasar pasal 131 IS. Berdasarkan aturan peralihan dari berbagai peraturan di Indonesia, yaitu :
a) pasal II Aturan peralihan dari UUD RI 1945 ( 5 Juli 1959 ).
b) pasal 142 UUD Sementara RI 1950.
c) pasal 191 ayat Ikonstitusi RIS 1949.
d) pasal II aturan peralihan dari UUD RI 1945.
e) pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 dari balatentara Dai Nippon.
f) pasal 131 ayat 6 IS (Indische Staatsregeling ).

1
Keseluruhan aturan peralihan itu mengandung isi yang sama, yaitu tetap menyatakan tetap berlakunya badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang baru menurut undang-undang atau undang-undang dasar tersebut. Karena itu hukum perkawinan sebagian dari hukum perdata berlaku di Indonesia seperti keadaannya di zaman Hindia Belanda, dengan beberapa perubahan yang pada umumnya bersifat administratif demikian juga mengenai perceraian.
Berhubung dengan adanya peraturan-peraturan peralihan tersebut diatas maka untuk mengetahui Hukum perkawinan sebagai bagian dari hukum perdatayang berlaku di Indonesia, kita perlu lebih dahulu meninjau politik pemerintahan Hindia Belanda tempo dulu terhadap hukum di Indonesia dan kemudian perubahan yang diadakan pada zaman berikutnya sampai dengan diundangkannya undang-undang perkawinan nasional pada tanggal 2 januari 1974, yakni undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang pelaksanaannya secara efektif mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1975  berdasarkan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 Tahun 1974.

B.  Perumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahannya adalah :
1) Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian ?
2) Bagaimanakah akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan 
    perceraian melalui putusan pengadilan ?
3) Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian ?

C.  Tujuan makalah
1.  Tujuan Subyektif
            Untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum perdata.
2.  Tujuan Obyektif
            Untuk menambah wawasan tentang putusnya perkawinan menurut undang-
            Undang perkawinan di Indonesia.
            Sebagai media penulis untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam hukum
            Perdata.
2
BAB II
TINJAUAN UMUM
PERKAWINAN

A.  Pengertian Perkawinan
            Undang-undang tidak mengadakan definisi tentang perkawinan istilah perkawinan dalam undang-undang dipakai dalam dua arti. Pertama sebagai suatu perbuatan yaitu perbuatan ” melangsungkan perkawinan ” untuk mengikatkan diri sebagai suami isteri ( pasal 104 KUH perdata ). Pada pasal 209 sub 3 ; ” setelah perkawinan ” dalam arti ini perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu saat tertentu. Kedua, istilah perkawinan digunakan dalam arti suatu keadaan hukum yaitu keadaan bahwa seorang laki-laki dan seorang wanita terikat oleh suatu pertalian perkawinan. Keadaan ini adalah akibat daripada perbuatan yang dimaksud diatas, dalam keadaan itu pihak laki mempunyai kedudukan ( status ) sebagai suami dan pihak perempuan sebagai isteri. Perkawinan dalam arti keadaan hukum adalah suatu lembaga hukum. Perkawinan mempersatukan suami isteri untuk hidup bersama dan untuk saling bantu membantu dalam penghidupan. Perkawinan diakui oleh undang-undang, undang-undang memberi akibat-akibat pada suatu perkawinan yang dilangsungkan dengan cara dan menurut syarat-syarat undang-undang.

B.  Syarat-Syarat Perkawinan
            Seorang yang hendak melangsungkan perkawinan harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang, syarat-syarat itu dibagi dalam :
1.  Syarat-syarat Materiil ( Materiil of inwendige veristen ).
     Mengenai orang-orang yang hendak kawin dan idzin-idzin yang harus diberikan oleh
     Pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang.
2.  Syarat-syrat Formil ( formele of uitwendige vereisten ).
     Terdir dari formalita yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan.


3
I.  Syarat-syarat materiil dibagi lagi dalam :
a)  syarat materiil mutlak
b)  syarat materiil relatif

I. a. Syarat-syarat materiil mutlak
            Syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin dengan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin. Sayarat-syarat ini berlaku umum, apabila salah satu dari syarat-syarat ini tidak dipenuhi maka orang tidak diperbolehkan kawin. Syarat-syarat tersebut adalah :
1.  Kedua pihak tidak terikat dengan tali perkawinan.
2.  Persetujuan bebas dari kedua pihak.
3.  Setiap fihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh undang-undang.
4.  Seorang perempuan tak diperbolehkan kawin lagi, melainkan setelah lewat 300 hari
     semenjak perkawinannya terakhir dibubarkan.
5.  Idzin-idzin dari pihak ketiga.

I.b. Syarat-syarat materiil relatif.
            Syarat-syarat materiil mutlak adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak kawin, syarat-syarat materiil relatif mengenai syarat-syarat bagi pihak yang hendak dikawinkan. Seorang yang memenuhi syarat-syarat materiil mutlak diperbolehkan kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Pihak dengan siapa ia hendak kawin, harus memenuhi syarat-syarat materiil relatif.

II.  Syarat-syarat formil
            Syarat-syarat formil terdiri atas formalitet-formalitet. Pasal 50-58 yang mengatur formalitet-formalitet yang harus mendahului perkawinan, hanya berlaku bagi golongan Eropah ( tidak berlaku bagi golongan Tionghoa ). Kehendak untuk kawin harus diberitahukan pada pegawai catatan sipil, yang membukukan pemberitahuan itu dalam register pemberitahuan kawin ”. (pasal 50-51 ). Sebelum perkawinan dilangsungkan , pemberitahuan kawin diumumkan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 52.
4
BAB III
PEMBAHASAN

1.  Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.
            Pasal 38 menyebutkan , perkawinan dapat putus karena :
A) kematian.
B) perceraian.
C) atas keputusan pengadilan.

A. Kematian
            Putusnya perkawinan karena kematian salah satu dari pihak dari suami isteri sudah jelas tidak perlu dibahas lagi.

B. Perceraian
            Sesuai dengan prinsip mempersukar terjadinya perceraian maka pasal 39 ayat ( 1 ) meuat ketentuan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak sedang pasal 40 ayat (1) memuat ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan. Dimaksud denga pengadilan disini ialah pengadilan agama bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum ( pengadilan negri ) bagi lainnya sebagaimana ditentukan oleh pasal 63 ayat (1) dan (2). Pasal 39 (2) menegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa anatra suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Sedang tata cara perceraian didepan sidang pengadilan itu, dan tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan itu, menurut pasal 39 ayat (3) dan pasal 40 ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undang tersendiri. Peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 telah mengaturnya dalam pasal 14 sampai dengan 18 dan pasal 20 sampai denga 36. Alasan-alsan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut penjelasan pasal 39 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan pasal 19 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tersebut adalah :
5
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
    sebagainya yang sukar ditentukan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun  berturut-turut tanpa alasan
    yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukum penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih
    berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
    menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
    terhadap pihak lain.
f. Antara suami isteri terlibat pertengkaran dan terus menerus dan tidak ada harapan akan
   hidup rukun dalam rumah tangga.
            Menurut pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 seorang suami yang telah melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada pengadilan ditempat tinggalnya yang berisi pemberi tahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta pengadilan agama mengadakan sidang untuk keperluan tersebut. Pasal 15, 16 dan penjelasan pasal 16 peraturan pemerintah ini, menentukan bahwa pengadilan tersebut hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan dan meneliti dan berpendapat adanya-adanya alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang pengadilan tersebut. Jadi sidang pengadilan ini hanya menyaksikan saja, sedang thalaq dilakukan oleh suami itu sendiri. Karena itu pasal 18 menentukan bahwa perceraian ini terjadi pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang pengadilan, yakni sejak suami menjatuhkan thalaq kepada isterinya itu. Menurut pasal 17 ketua pengadilan tersebut cukup membuat surat keterangan saja atas telah terjadinya perceraian ini. Surat keterangan ini dikirim kepada pegawai pencatat itu terjadi untuk diadakan pencatatatan.

6
Jadi berdasarkan-berdasarkan alasan-alasan tersebut, seorang suami dapat mengajukan surat kepada pengadilan agama yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya, dan dia sendiri yang melakukan perceraian tersebut dengan menjatuhkan thalaq didepan sidang pengadilan agama. Karena itu seorang suami tidak dapat mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan agama tetapi ia dapat mengajukan surat pemberitahuan ingin menceraikan isterinya. Dengan demikian pasal 38 sub b dan pasal 39 undang-undang No.1 tahun 1974 jo. Pasal 14 sampai dengan 18 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 telah memberi kemungkinan kepada seorang suami yang melangsungkan pekawinannya menurut agama Islam untuk menjatuhkan thalaq kepada isterinya. Hal ini berarti bahwa undang-undang perkawinan nasional mengakui bahwa thalaq itu adalah hak suami, yang berarti sesuai pula dengan hukum Islam. Hanya hak thalaq ini dapat dipergunakan di depan sidang pengadilan agama, tidak seperti sebelumnya hak thalaq dapat dipergunakan di sembarang tempat. Menurut hukum Islam hak thalaq ada ditangan suami walaupun hak itu dimungkinkan juga oleh hukum berada ditangan hakim dalam berbagai bentuk perceraiaan menurut Islam sebagaimana yang selama ini berlaku.

C.  Keputusan Pengadilan
            Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan dapat terjadi karena pembatalan suatu perkawinan atau karena perceraian. Menurut pasal 22, suatu perkawinan dapat dibatalkan oleh pengadilan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat ini adalah syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 6 dan 7 undang-undang ini sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 (6) , larangan perkawinan pasal 8, masih terikata tali dengan perkawinan dengan orang lain pasal 9, berapa kali cerai tidak boleh kawin lagi pasal 10, dan jangka waktu iddah pasal 11, yang kesemuanya sepanjang hukum masing-masing agama dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.


7
Ketentuan ini adalh sesuai dengan prinsip yang ditentukan  oleh masing-masing agama, untuk perkawinan islam tidak memenuhi syarat-syarat menurut hukum syara’ agama islam maka perkawinan itu dapat dibatalkanoleh pengadilan. Batalnya itu mungkin abadi.mungkin sementara. Pengadilan yang berhak membatalkan suatu perkawinan selain ditentukan oleh pasal 63 ayat (1) dan pasal 25 yakni pengadilan agama atau pengadilan negri dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal suami isteri dan pengadilan inilah permohonan pembatalan perkawinan harus diajukan. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan menurut pasal 38 (2) peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian itu. Pasal 28 (1) menentukan batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. Tetapi ayat (2) nya menentukan keputusan pembatalan perkawinan ini tidak berlaku surut terhadap :
a.  anak-anak yang dilahirkan dari anak tersebut.
b.  suami atau isteri yang bertindak dengan i’tikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
     bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
     dahulu.
c.  orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak
     hak dengan i’tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
     hukum tetap.

2.  Akibat hukum Terhadap Anak dan Harta Yang disebabkan perceraian dalam
        putusan pengadilan.

2.a. Akibat Hukum terhadap Anak
            Menurut pasal 41 ayat (1) dan (2), baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan ana, dimana bapak yang bertanggung jkawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan ank-anak itu.
8

Akan tetapi bilamana bapak dalam kenyataan nya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu dapat memikul biaya tersebut.
Kecuali itu pengadilan dapat  pula memeberikan putusan tentang siapa diantara mereka berdua yang menguasai anak yakni memelihara dan mendidiknya, apabila ada perselihan antara keduanya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu juga didasarkan kepada kepentingan anak.

2.b. Akibat Hukum Terhadap Harta
Menurut pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yand disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Karena itu pasal 36 menetukan bahwa harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan., suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Menurut penjelasan pasal 35, apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula karena perceraian. Akan tetapi pasal 37 mengaitkan putusnya perkawinan itu karena perceraian yakni apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing menurut penjelasan pasal37 ini ialah hukum agama, hukum adat dsn hukum lain-lainnya. Apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing pada penjelasan pasal 35 adalah sama dengan pasal 37. Jelasnya baik perkawinan putus karena perceraian maupun kematian salah satu pihak, harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing, yskni hukum agama, hukum adat, hukum lainnya.


9
BAB IV
PENUTUP

1.  Kesimpulan
            Pada prinsipnya ada dua macam garis hukum perceraian di Indonesia, yaitu garis hukum perceraian menurut hukum agama Islam dan garis hukum perceraian menurut selain hukum agama Islam. Garis perceraian menurut hukum agama Islam bahwa hak thalaq itu pada prinsipnya ada pada sang suami, hal ini diakui oleh Undang-Undang Perkawinan Nasional dimana suami dapat menjatuhkan thalaq kepada isteri didepan sidang pengadilan tersebut. Kecuali itu menurut hukum Islam hak thalaq itu dapat juga berada pada sang Isteri dengan jalan taukil, tafwidl atau fasakhistiglal di depan hakim. Hakim mempunyai hak untuk menyatakan perceraian yang diucapkan dalam sidang pengadilan atas gugatan perceraian oleh isteri kepada pengadilan berdasarkan alasan-alasan. Perceraian menurut garis hukum ini ditangani oleh pengadilan agama sebagaimana ditunjuk oleh pasal 63 ayt (1a) undang-undang ini, dimana ada cerai thalaq dan cerai gugatan. Garis perceraian selain hukum agama Islam bahwa hak untuk menyatakan perceraian itu hanya pada hakim pengadilan atas gugatan perceraian yang diajukan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan-alasan. Perceraian menurut garis hukum ini hanya ditangani oleh pengadilan negri sebagaimana ditunjuk pasal 653 ayat (1b) undang-undang ini, dimana hanya ada cerai gugatan.

2.  Saran-Saran
            Pembinaan mental agama yang lebih baik dan sesuai dengan kemajuan zaman hendaknya harus lebih ditingkatkan, baik ditengah-tengah masyarakat maupun disekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang berhubungan dengan kesadaran atau tanggung jawab mengenai hidup bahagia dalam rumah tangga untuk memperoleh keturunan yang baik  terhindar dari segala dosa dan dari perceraian yang dibenci Allah.





DAFTAR PUSTAKA

Ko Tjay Sing, S.H.    Hukum Perdata, Jilid I Hukum Keluarga
H.M. Djamil Latif, S.H.    Aneka hukum Perceraian di Indonesia



1 komentar:

  1. Prediksi Togel HK Mbah Bonar 2 Mei 2020 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!

    BalasHapus