Senin, 22 Agustus 2011

ASURANSI


     A.  Pengertian Asuransi Pada Umumnya
           1.  Pengertian Asuransi
                        Asuransi atau perjanjian pertanggungan diatur dalam kitab undang-undang Hukum Dagang Buku I Titel 9 dan 10 serta diatur pula dalam buku II Titel 9 dan 10. Kitab Undang-undang hukum dagang masuk di Indonesia berdasarkan asas persamaan yang ketentuannya termuat dalam pasal 131 IS, yang menggantikan pasal 75 RR, yang lebih tepatnya diatur dalam pasal 131 IS ayat 2a, sebagai berikut :[1]
            “ Didalam ordonansi yang mengatur hukum perdata dan hukum dagang bagi orang-orang eropa dianuti undang-undang yang berlaku di nederland, tetapi boleh menyimpang karena hal-hal yang istimewa di Indonesia, juga agar dapat mempersamakan mereka dengan golongan penduduk lainnya untuk tunduk pada peraturan yang sama.”
            Jadi jelas, bahwa kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang itu diberlakukan bagi golongan eropa di Indonesia. Bagi golongan bukan Eropa dimungkinkan untuk menundukkan diri atas kemauan sendiri kepada hukum perdata Eropa, diiatur dalam “ Regelling nopens de vrijwillige onderwerping aan het Europesch Privaatrecht “ (staatsblad tahun 1917 no.12 jo.528 dan mulai berlaku pada tahun 1917).
            Dalam pasal 246 KUHD berbunyi sebagai berikut : “ Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima uang premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tertentu. Dengan demikian, asuransi mempunyai tujuan pertama-tana ialah mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak pasti , yang tidak diharapkan terjadinya itu kepada oranglain yang mengambil risiko itu, untuk mengganti kerugian. Oleh karena itu, selama tidak ada kerugian, penanggung tidak akan membayar ganti kerugian kepada tertanggung.[2]             
            Apabila ditelaah secara redaksional, rumusan yang terdapat dalam pasal 246 KUHD lebih mengutamakan kepada asuransi kerugian. Hal itu sehubungan dengan kalimat: suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntuingan yang diharapkan, lebih menbonjol kepada sesuatu yang dinilai dengan uang. Seharusnya, definisi atau rumusan yang diberikan KUHD berlaku umum untuk semua  golongan dan jenis asuransi. Hal itu mengingat sifat dan fungsi definisi itu sendiri. Demikian pula, rumusan tersebut terletak dalam titel 9 dari buku I KUHD tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya.
            Rumusan asuransi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Dalam Pasal 1, angka 1 disebutkan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti , atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Rumusan  asuransi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 diatas, lebih luas daripada yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD.[3]
Memperhatikan Pasal 246 KUHD dan Pasal  I angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, serta pendapat para sarjana diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa unsur dari asuransi, yaitu :
1.  merupakan suatu perjanjian;
2.  adanya premi;
3.  adanya kewajiban penanggung untuk memberikan penggantian kepada
     Tertanggung;
4.  adanya suatu peristiwa yang belum pasti terjadi (onzekler voorval).
            Adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum (sudikno Mertokusumo, (1986:96). Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang akibatnya diatur oleh hukum.
            Kata sepakat dalam suatu perjanjian merupakan unsur esensial. Hal ini merupakan unsur pertama untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila terjadi paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling), atau penipuan (bedrog), perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Hal itu disebabkan terjadi cacat kehendak atas unsur kata sepakat dari kata perjanjian bersangkutan. Apabila kesepakatan tersebut dilanggar, pihak lainnya dikenakan sanksi.
            Karena asuransi adalah perjanjian ketentuan-ketentuan yang diutarakan diatas berlaku pula terhadapnya. Sebagai suatu perjanjian, asuransi mempunyai beberapa sifat, yaitu diantaranya :
       1.  Perjanjian asuransi merupakan perjanjian timbal balik. Hal itu disebabkan,
dalam perjanjian asuransi masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban  yang saling berhadapan.[4]

  1. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian bersyarat, karena kewajiban  penanggung untuk memberikan pergantian kepada tertanggung digantungkan, kepada tertanggung digantungkan.
3.      Asuransi merupakan perjanjian untuk mengalihkan dan membagi risiko. Mengenai hal ini, telah dijelaskan dimuka.
4.      Perjanjian asuransi merupakan perjanjian konsensual (pasal 257 KUHD). Yang dimaksudkan dengan perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang telah terbentuk dengan adanya kata sepakat diantara pihak.
5.      Asuransi pada dasarnya merupakan suatu perjanjian penggantian kerugian (Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980:22 Wery, 1984:27). Hal ini berarti bahwa penanggung mengikatkan diri untuk memberikan kepada tertanggung yang seimbang dengan kerugian yang diderita tertanggung bersangkutan (prinsip indemnitas). Prinsip ini hanya berlaku untuk asuransi jumlah.
6.      Asuransi mempunyai sifat kepercayaan yang khusus. Saling mempercayai diantar para pihak memegang peranan yang besar untuk diadakan perjanjian tersebut.
7.      Didalam asuransi terdapat unsur “peristiwa yang belum pasti terjadi”. Pasal 1774 KUHPerdata asuransi dikelompokkan sebagai perjanjian untung-untungan.
Dikelompokkannya perjanjian asuransi dalam perjanjian untung-untungan
adalah tidak tepat dan dapat menimbulkan anggapan bahwa asuransi merupakan permainan dan perjudian.[5]      

2.  Fungsi  Asuransi
            Setiap orang yang memiliki  suatu benda tentu menghadapi suatu risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang baik karena hilangnya benda itu, maka karena kerusakan atau karena musnah terbakar  atau karena sebab lainnya. Disebabkan kebakaran maka benda seseorang barang-barang perhiasan, karena angin topan maka seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya. Semua hal–hal ini yaitu kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu adalah peristiwa-peristiwa yang pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan terjadi itu besar, tidaklah dapat diharapkan terjadinya dengan suatu kepastian, dan pada pihak lain bahwa orang yang ditimpanya itu biasanya menderita kergian yang lebih besar dari faktor-faktor kerugian yang normal, sedangkan peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat mengakibatkan mungkin jatuhnya keadaan keuangan dari seseorang.
Jika hal ini dihubungkan dengan asuransi maka dapatlah dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu tadi dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya.
Maka dari itu Asuransi  mempunyai fungsi Yaitu :
a.  Sebagai lembaga pelimpahan risiko.[6]
           
Pada hakikatnya, setiap kegiatan manusia didunia ini betapapun sederhananya, selalu mengandung berbagai kemungkinan, baik yang positif maupun negatif. Adakalanya beruntung dan adakalanya mengalami kerugian. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kegiatan manusia itu selalu mengandung suatu keadaan yang tidak pasti. Keadaan tidak pasti yang menimbulkan rasa tidak aman terhadap setiap kemungkinan menderita itu disebut risiko. Oleh karena itu manusia mencari jalan dan upaya bagaimana caranya agar risiko yang seharusnya ia tanggung sendiri itu dapat dikurangi dan dibagi kepada pihak lain yang bersedia menanggung risiko tersebut. Salah satu upaya manusia untuk mengalihkan risiko ialah dengan jalan mengadakan perjanjian pelimpahan risiko dengan pihak lain. Perjanjian yang dimaksud disini adalah perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan. Peralihan risiko dari pihak satu kepihak lain  apabila dilakukan secara teratur oleh kalangan luas dalam masyarakat dan dalam frekuensi yang relatif lama dan terus menerus akan melahirkan suatu lembaga. Lembaga demikian dapat disebut lembaga asuransi atau pertanggungan.
b.  Sebagai lembagai Penyerap dana dari masyarakat.
            Pada hakikatnya, lembaga asuransi atau pertanggungan selain sebagai lembaga peralihan risiko, ia juga sebagai lembaga penyerap dana dari masyarakat melalui pembayaran premi yang diberikan oleh masyarakat tertanggung kepada
para penanggung (penanggung adalah perusahaan-perusahan asuransi sebagai lembaga).[7]

3.  Jenis-jenis Asuransi
            Dalam bukunya H.M.N Purwosutjipto, S.H  ada 3 (tiga) jenis pertanggungan atau asuransi, yaitu :
1).  Pertanggungan Kerugian;
2).  Pertanggungan jumlah (jiwa);
3).  Pertanggungan campuran.
A.  Definisi pertanggungan kerugian
            Menurut ketentuan Pasal 246 KUHD dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang sebagai definisi pertanggungan umum, tetapi mengandung unsur-unsur pertanggungan kerugian,. Sudah tentu ketentuan itu harus di ubah sedemikian rupa sehingga benar-benar sebagai definisi pertanggungan kerugian,  yang berbunyi demikian : “ Pertanggungan kerugian adalah suatu perjanjian timbal balik antara penanggung dan tertanggung, dimana tertanggung mengikatkan diri untuk membayar uang premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tentu.”
B.  Definisi pertanggungan jumlah
            Molengraff mengajukan dua macam definisi pertanggungan jiwa:
b.1.”Pertanggungan jiwa dalam arti luas meliputi semua perjanjian tentang pembayaran sejumlah uang pokok (kapital) atau suatu bunga, yang didasarkan atas kemungkinan hidup atau matinya satu atau beberapa orang tertentu.”[8]
b.2.  Dalam arti sempit, pertanggungan jiwa ialah perjanjian tentang pembayaran uang pokok (kapital), satu jumlah sekaligus, pada waktu hidup atau matinya orang yang ditunjuk. Ketentuan Pasal 1 “ Ordonnatie op het Levensverzekeringbedrijf” (S. 1941-101,m.b.1 Mei 1941) yang berbunyi sebagai berikut :
“Pertanggungan jiwa adalah perjanjian untuk memberi santunan uang, terhadap suatu kenikmatan menerima uang premi dan dalam hubungannya dengan hidup atau matinya manusia.”
C.  Definisi pertanggungan campuran
            Pertanggungan campuran ialah pertanggungan jumlah yang bercampur dengan dengan pertanggungan kerugian, misalnya ialah pertanggungan kecelakaan. Mengenai prestasi penanggung dalam pertanggungan kecelakaan ada dua macam, yaitu:
c.1. Bila kecelakaan itu menimbulkan cacat tetap, misalnya: hilangnya sebelah mata atau kedua belah mata.  Dalam hal tertanggung kehilangan sebelah matanya  maka penanggung berkewajinam membayar 30% dari jumlah pertanggungan. Kalau kehilangan kedua belah matanya tertanggung akan menerima 100% dari jumlah pertanggungan.
c.2.  Jika karena kecelakaan harus dikeluarkan ongkos-ongkos untuk dokter, perawatan dirumah sakit dan obat-obatan, maka semua itu akan diganti sesuai dengan kuitansi yang sebenarnya.[9]


D.  Jenis-jenis pertanggungan yang disebut dalam undang-undang:
1.  Pertanggungan dibawah nilai penuh
            Pertanggungan dibawah nilai penuh yaitu pertanggungan yang nilai kepentingannya tidak dipertanggungkan secara penuh, misalnya: kepentingan yang nilai penuhnya Rp 25.000.000,- dipertanggungkan hanya dengan nilai Rp 15.000.000,-
2.   Pertanggungan primier-risque
            Pertanggungan primier- risque yaitu     pertanggungan sebagai dimaksud dalam pasal 253 ayat(3) yang menyimpang dari yang ditetapkan dalam Pasal 253 ayat (2) tidak bersifat memaksa, karena orang diperbolehkan mengadakan perjanjian yang menyimpang dari ketentuan Pasal 253 ayat (2), meskipun nilai benda pertanggungan lebih tinggi daripada yang didaftarkan kepada penanggung, tetapi pada waktu ada evenemen penanggung diwajibkan membayar ganti kerugian maksimum sama dengan jumlah pertanggungan.
3.   Reasuransi
            Reasuransi adalah benda pertanggungan dipertanggungkan lagi oleh penanggung, terhadap bahaya yang sama dan dalam jangka waktu yang sama pula kepada penanggung lain.
4.   Pertanggungan kembali
            Pertanggungan kembali yaitu pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 KUHD.[10]


 Disini tertanggung dapat membebaskan kewajiban penanggungnya yang pertama dan mempertanggungkan lagi kepentingannya kepada penanggung kedua dengan syarat bahwa pemberitahuan kepada penanggungnya yang pertama itu harus melalui pengadilan dan peristiwa itu harus disebut dalam polis yang baru atas ancaman batal.
5.   Pertanggungan persekutuan
            Dalam Pasal 278 ayat (1),  beberapa penanggung dalam satu-satunya polis bersama-sama menanggung satu buah benda pertanggungan.
6.   Pertanggungan saling menanggung
            Dalam Pasal 286, yaitu suatu perkumpulan yang bertujuan untuk saling menanggung kerugian para anggotanya.
E.  Jenis-jenis pertanggungan yang tidak disebut dalam undang-undang
7.   Pertanggungan terhadap pencurian dan pembongkaran
8.   Pertanggungan terhadap kerugian perusahaan
9.   Pertanggungan kecelakaan
10.  Pertanggungan tanggung jawab pihak ketiga
11.  Pertanggungan kredit
12.  Pertanggungan perusahaan
13.  Pertanggungan hujan
F.   Jenis-jenis pertanggungan yang ada di Indonesia
Pertanggungan kerugian[11]
1.   Pertanggungan kebakaran;
2.   Pertanggungan pengankutan laut;
3.   Pertanggungan pengangkutan sungai, daratan dan udara;
4.   Pertanggungan kendaraan bermotor;
5.   Pertanggungan pesawat TV;
Pertanggungan jumlah
6.   Pertanggungan jiwa;
7.   Pertanggungan jiwa bersama dan segala ragamnya;
Pertanggungan campuran
8.   Pertanggungan kecelakan diri.

4.   Pengaturan Asuransi
            Ada dua tempat dimana hukum pertanggungan itu diatur, yaitu : dalam KUHD dan diluar KUHD.
a.   Peraturan pertanggungan dalam KUHD ialah :
1.   Buku I, Bab IX, tentang” Pertanggungan pada umumnya” (Pasal 246 -286);
2.   Buku I, Bab X, tentang “Pertanggungan kebakaran, bahaya hasil panenan dan
      pertanggungan jiwa”(Pasal 287 - 308);
3.   Buku II, Bab IX, tentang “Pertanggungan terhadap bahaya laut”. (Pasal 592 -
       6850);
4.   Buku II, Bab X, tentang “Pertanggungan terhadap bahaya dalam
      pengangkutan darat dan diperairan darat” (Pasal 686-695).[12]
b.   Pengaturan asuransi di luar KUHD ialah:
5.   Ordonnantie op het Levensverzekeringbeddrijf, S. 1941-101, mulai berlaku
      pada 1 Mei 1941, Penjelasannya dalam Bijblad 15108.
6.   Pertanggungan terhadap pencurian dan pembongkaran;
7.   Pertanggungan terhadap kerugian perusahaan;
8.  Pertanggungan terhadap kecelakaan;
9.  Pertanggungan perusahaan;
10. “Wet telijk aansprakelijkeidsverzekering), atau “third party liability” ialah
     pertanggungan terhadap tuntutan pihak ketiga mengenai perbuatan melawan
     hukum dari tertanggung. 
Dasar hukum bentuk asuransi dimaksud nomor 6-11 adalah Pasal 246-286 (peraturan umum bagi semua jenis asuransi) dan ketentuan dalam perjanjian itu sendiri  (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata).[13]


[1] Djoko Prakoso, S.H.., I Ketut Murtika, S.H.” Hukum Asuransi Indonesia “. Hal 259.
[2] Ibid.Hal 261
[3] Prof.DR.H.Man Suparman S, S.H., S.U., “ Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga “( Bandung, PT.Alumni, 2003) Hal 14
[4] Ibid, Hal 17

[6] Djoko Prakoso, S.H., I Ketut Murtika, S.H. Op.Cit. Hal. 7.
[7] Dr. Sri Rejeki Hartono, S.H.,” Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi”.(Jakarta,Sinar Grafika,2001).Hal.14
[8] H.M.N. Purwosutjipto,S.H.”Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia.”(Jkt,Jambatan,2003)
[9] Ibid.Hal 24
[10] Ibid.Hal 25
[11] Ibid Hal 26
[12] H.M.N Purwosutjipto,S.H.,Loc.cit Hal.11
[13] Ibid.Hal.12