Senin, 22 Agustus 2011

ASURANSI


     A.  Pengertian Asuransi Pada Umumnya
           1.  Pengertian Asuransi
                        Asuransi atau perjanjian pertanggungan diatur dalam kitab undang-undang Hukum Dagang Buku I Titel 9 dan 10 serta diatur pula dalam buku II Titel 9 dan 10. Kitab Undang-undang hukum dagang masuk di Indonesia berdasarkan asas persamaan yang ketentuannya termuat dalam pasal 131 IS, yang menggantikan pasal 75 RR, yang lebih tepatnya diatur dalam pasal 131 IS ayat 2a, sebagai berikut :[1]
            “ Didalam ordonansi yang mengatur hukum perdata dan hukum dagang bagi orang-orang eropa dianuti undang-undang yang berlaku di nederland, tetapi boleh menyimpang karena hal-hal yang istimewa di Indonesia, juga agar dapat mempersamakan mereka dengan golongan penduduk lainnya untuk tunduk pada peraturan yang sama.”
            Jadi jelas, bahwa kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang itu diberlakukan bagi golongan eropa di Indonesia. Bagi golongan bukan Eropa dimungkinkan untuk menundukkan diri atas kemauan sendiri kepada hukum perdata Eropa, diiatur dalam “ Regelling nopens de vrijwillige onderwerping aan het Europesch Privaatrecht “ (staatsblad tahun 1917 no.12 jo.528 dan mulai berlaku pada tahun 1917).
            Dalam pasal 246 KUHD berbunyi sebagai berikut : “ Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima uang premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tertentu. Dengan demikian, asuransi mempunyai tujuan pertama-tana ialah mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak pasti , yang tidak diharapkan terjadinya itu kepada oranglain yang mengambil risiko itu, untuk mengganti kerugian. Oleh karena itu, selama tidak ada kerugian, penanggung tidak akan membayar ganti kerugian kepada tertanggung.[2]             
            Apabila ditelaah secara redaksional, rumusan yang terdapat dalam pasal 246 KUHD lebih mengutamakan kepada asuransi kerugian. Hal itu sehubungan dengan kalimat: suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntuingan yang diharapkan, lebih menbonjol kepada sesuatu yang dinilai dengan uang. Seharusnya, definisi atau rumusan yang diberikan KUHD berlaku umum untuk semua  golongan dan jenis asuransi. Hal itu mengingat sifat dan fungsi definisi itu sendiri. Demikian pula, rumusan tersebut terletak dalam titel 9 dari buku I KUHD tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya.
            Rumusan asuransi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Dalam Pasal 1, angka 1 disebutkan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti , atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Rumusan  asuransi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 diatas, lebih luas daripada yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD.[3]
Memperhatikan Pasal 246 KUHD dan Pasal  I angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, serta pendapat para sarjana diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa unsur dari asuransi, yaitu :
1.  merupakan suatu perjanjian;
2.  adanya premi;
3.  adanya kewajiban penanggung untuk memberikan penggantian kepada
     Tertanggung;
4.  adanya suatu peristiwa yang belum pasti terjadi (onzekler voorval).
            Adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum (sudikno Mertokusumo, (1986:96). Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang akibatnya diatur oleh hukum.
            Kata sepakat dalam suatu perjanjian merupakan unsur esensial. Hal ini merupakan unsur pertama untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila terjadi paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling), atau penipuan (bedrog), perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Hal itu disebabkan terjadi cacat kehendak atas unsur kata sepakat dari kata perjanjian bersangkutan. Apabila kesepakatan tersebut dilanggar, pihak lainnya dikenakan sanksi.
            Karena asuransi adalah perjanjian ketentuan-ketentuan yang diutarakan diatas berlaku pula terhadapnya. Sebagai suatu perjanjian, asuransi mempunyai beberapa sifat, yaitu diantaranya :
       1.  Perjanjian asuransi merupakan perjanjian timbal balik. Hal itu disebabkan,
dalam perjanjian asuransi masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban  yang saling berhadapan.[4]

  1. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian bersyarat, karena kewajiban  penanggung untuk memberikan pergantian kepada tertanggung digantungkan, kepada tertanggung digantungkan.
3.      Asuransi merupakan perjanjian untuk mengalihkan dan membagi risiko. Mengenai hal ini, telah dijelaskan dimuka.
4.      Perjanjian asuransi merupakan perjanjian konsensual (pasal 257 KUHD). Yang dimaksudkan dengan perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang telah terbentuk dengan adanya kata sepakat diantara pihak.
5.      Asuransi pada dasarnya merupakan suatu perjanjian penggantian kerugian (Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980:22 Wery, 1984:27). Hal ini berarti bahwa penanggung mengikatkan diri untuk memberikan kepada tertanggung yang seimbang dengan kerugian yang diderita tertanggung bersangkutan (prinsip indemnitas). Prinsip ini hanya berlaku untuk asuransi jumlah.
6.      Asuransi mempunyai sifat kepercayaan yang khusus. Saling mempercayai diantar para pihak memegang peranan yang besar untuk diadakan perjanjian tersebut.
7.      Didalam asuransi terdapat unsur “peristiwa yang belum pasti terjadi”. Pasal 1774 KUHPerdata asuransi dikelompokkan sebagai perjanjian untung-untungan.
Dikelompokkannya perjanjian asuransi dalam perjanjian untung-untungan
adalah tidak tepat dan dapat menimbulkan anggapan bahwa asuransi merupakan permainan dan perjudian.[5]      

2.  Fungsi  Asuransi
            Setiap orang yang memiliki  suatu benda tentu menghadapi suatu risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang baik karena hilangnya benda itu, maka karena kerusakan atau karena musnah terbakar  atau karena sebab lainnya. Disebabkan kebakaran maka benda seseorang barang-barang perhiasan, karena angin topan maka seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya. Semua hal–hal ini yaitu kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu adalah peristiwa-peristiwa yang pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan terjadi itu besar, tidaklah dapat diharapkan terjadinya dengan suatu kepastian, dan pada pihak lain bahwa orang yang ditimpanya itu biasanya menderita kergian yang lebih besar dari faktor-faktor kerugian yang normal, sedangkan peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat mengakibatkan mungkin jatuhnya keadaan keuangan dari seseorang.
Jika hal ini dihubungkan dengan asuransi maka dapatlah dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu tadi dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya.
Maka dari itu Asuransi  mempunyai fungsi Yaitu :
a.  Sebagai lembaga pelimpahan risiko.[6]
           
Pada hakikatnya, setiap kegiatan manusia didunia ini betapapun sederhananya, selalu mengandung berbagai kemungkinan, baik yang positif maupun negatif. Adakalanya beruntung dan adakalanya mengalami kerugian. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kegiatan manusia itu selalu mengandung suatu keadaan yang tidak pasti. Keadaan tidak pasti yang menimbulkan rasa tidak aman terhadap setiap kemungkinan menderita itu disebut risiko. Oleh karena itu manusia mencari jalan dan upaya bagaimana caranya agar risiko yang seharusnya ia tanggung sendiri itu dapat dikurangi dan dibagi kepada pihak lain yang bersedia menanggung risiko tersebut. Salah satu upaya manusia untuk mengalihkan risiko ialah dengan jalan mengadakan perjanjian pelimpahan risiko dengan pihak lain. Perjanjian yang dimaksud disini adalah perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan. Peralihan risiko dari pihak satu kepihak lain  apabila dilakukan secara teratur oleh kalangan luas dalam masyarakat dan dalam frekuensi yang relatif lama dan terus menerus akan melahirkan suatu lembaga. Lembaga demikian dapat disebut lembaga asuransi atau pertanggungan.
b.  Sebagai lembagai Penyerap dana dari masyarakat.
            Pada hakikatnya, lembaga asuransi atau pertanggungan selain sebagai lembaga peralihan risiko, ia juga sebagai lembaga penyerap dana dari masyarakat melalui pembayaran premi yang diberikan oleh masyarakat tertanggung kepada
para penanggung (penanggung adalah perusahaan-perusahan asuransi sebagai lembaga).[7]

3.  Jenis-jenis Asuransi
            Dalam bukunya H.M.N Purwosutjipto, S.H  ada 3 (tiga) jenis pertanggungan atau asuransi, yaitu :
1).  Pertanggungan Kerugian;
2).  Pertanggungan jumlah (jiwa);
3).  Pertanggungan campuran.
A.  Definisi pertanggungan kerugian
            Menurut ketentuan Pasal 246 KUHD dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang sebagai definisi pertanggungan umum, tetapi mengandung unsur-unsur pertanggungan kerugian,. Sudah tentu ketentuan itu harus di ubah sedemikian rupa sehingga benar-benar sebagai definisi pertanggungan kerugian,  yang berbunyi demikian : “ Pertanggungan kerugian adalah suatu perjanjian timbal balik antara penanggung dan tertanggung, dimana tertanggung mengikatkan diri untuk membayar uang premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tentu.”
B.  Definisi pertanggungan jumlah
            Molengraff mengajukan dua macam definisi pertanggungan jiwa:
b.1.”Pertanggungan jiwa dalam arti luas meliputi semua perjanjian tentang pembayaran sejumlah uang pokok (kapital) atau suatu bunga, yang didasarkan atas kemungkinan hidup atau matinya satu atau beberapa orang tertentu.”[8]
b.2.  Dalam arti sempit, pertanggungan jiwa ialah perjanjian tentang pembayaran uang pokok (kapital), satu jumlah sekaligus, pada waktu hidup atau matinya orang yang ditunjuk. Ketentuan Pasal 1 “ Ordonnatie op het Levensverzekeringbedrijf” (S. 1941-101,m.b.1 Mei 1941) yang berbunyi sebagai berikut :
“Pertanggungan jiwa adalah perjanjian untuk memberi santunan uang, terhadap suatu kenikmatan menerima uang premi dan dalam hubungannya dengan hidup atau matinya manusia.”
C.  Definisi pertanggungan campuran
            Pertanggungan campuran ialah pertanggungan jumlah yang bercampur dengan dengan pertanggungan kerugian, misalnya ialah pertanggungan kecelakaan. Mengenai prestasi penanggung dalam pertanggungan kecelakaan ada dua macam, yaitu:
c.1. Bila kecelakaan itu menimbulkan cacat tetap, misalnya: hilangnya sebelah mata atau kedua belah mata.  Dalam hal tertanggung kehilangan sebelah matanya  maka penanggung berkewajinam membayar 30% dari jumlah pertanggungan. Kalau kehilangan kedua belah matanya tertanggung akan menerima 100% dari jumlah pertanggungan.
c.2.  Jika karena kecelakaan harus dikeluarkan ongkos-ongkos untuk dokter, perawatan dirumah sakit dan obat-obatan, maka semua itu akan diganti sesuai dengan kuitansi yang sebenarnya.[9]


D.  Jenis-jenis pertanggungan yang disebut dalam undang-undang:
1.  Pertanggungan dibawah nilai penuh
            Pertanggungan dibawah nilai penuh yaitu pertanggungan yang nilai kepentingannya tidak dipertanggungkan secara penuh, misalnya: kepentingan yang nilai penuhnya Rp 25.000.000,- dipertanggungkan hanya dengan nilai Rp 15.000.000,-
2.   Pertanggungan primier-risque
            Pertanggungan primier- risque yaitu     pertanggungan sebagai dimaksud dalam pasal 253 ayat(3) yang menyimpang dari yang ditetapkan dalam Pasal 253 ayat (2) tidak bersifat memaksa, karena orang diperbolehkan mengadakan perjanjian yang menyimpang dari ketentuan Pasal 253 ayat (2), meskipun nilai benda pertanggungan lebih tinggi daripada yang didaftarkan kepada penanggung, tetapi pada waktu ada evenemen penanggung diwajibkan membayar ganti kerugian maksimum sama dengan jumlah pertanggungan.
3.   Reasuransi
            Reasuransi adalah benda pertanggungan dipertanggungkan lagi oleh penanggung, terhadap bahaya yang sama dan dalam jangka waktu yang sama pula kepada penanggung lain.
4.   Pertanggungan kembali
            Pertanggungan kembali yaitu pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 KUHD.[10]


 Disini tertanggung dapat membebaskan kewajiban penanggungnya yang pertama dan mempertanggungkan lagi kepentingannya kepada penanggung kedua dengan syarat bahwa pemberitahuan kepada penanggungnya yang pertama itu harus melalui pengadilan dan peristiwa itu harus disebut dalam polis yang baru atas ancaman batal.
5.   Pertanggungan persekutuan
            Dalam Pasal 278 ayat (1),  beberapa penanggung dalam satu-satunya polis bersama-sama menanggung satu buah benda pertanggungan.
6.   Pertanggungan saling menanggung
            Dalam Pasal 286, yaitu suatu perkumpulan yang bertujuan untuk saling menanggung kerugian para anggotanya.
E.  Jenis-jenis pertanggungan yang tidak disebut dalam undang-undang
7.   Pertanggungan terhadap pencurian dan pembongkaran
8.   Pertanggungan terhadap kerugian perusahaan
9.   Pertanggungan kecelakaan
10.  Pertanggungan tanggung jawab pihak ketiga
11.  Pertanggungan kredit
12.  Pertanggungan perusahaan
13.  Pertanggungan hujan
F.   Jenis-jenis pertanggungan yang ada di Indonesia
Pertanggungan kerugian[11]
1.   Pertanggungan kebakaran;
2.   Pertanggungan pengankutan laut;
3.   Pertanggungan pengangkutan sungai, daratan dan udara;
4.   Pertanggungan kendaraan bermotor;
5.   Pertanggungan pesawat TV;
Pertanggungan jumlah
6.   Pertanggungan jiwa;
7.   Pertanggungan jiwa bersama dan segala ragamnya;
Pertanggungan campuran
8.   Pertanggungan kecelakan diri.

4.   Pengaturan Asuransi
            Ada dua tempat dimana hukum pertanggungan itu diatur, yaitu : dalam KUHD dan diluar KUHD.
a.   Peraturan pertanggungan dalam KUHD ialah :
1.   Buku I, Bab IX, tentang” Pertanggungan pada umumnya” (Pasal 246 -286);
2.   Buku I, Bab X, tentang “Pertanggungan kebakaran, bahaya hasil panenan dan
      pertanggungan jiwa”(Pasal 287 - 308);
3.   Buku II, Bab IX, tentang “Pertanggungan terhadap bahaya laut”. (Pasal 592 -
       6850);
4.   Buku II, Bab X, tentang “Pertanggungan terhadap bahaya dalam
      pengangkutan darat dan diperairan darat” (Pasal 686-695).[12]
b.   Pengaturan asuransi di luar KUHD ialah:
5.   Ordonnantie op het Levensverzekeringbeddrijf, S. 1941-101, mulai berlaku
      pada 1 Mei 1941, Penjelasannya dalam Bijblad 15108.
6.   Pertanggungan terhadap pencurian dan pembongkaran;
7.   Pertanggungan terhadap kerugian perusahaan;
8.  Pertanggungan terhadap kecelakaan;
9.  Pertanggungan perusahaan;
10. “Wet telijk aansprakelijkeidsverzekering), atau “third party liability” ialah
     pertanggungan terhadap tuntutan pihak ketiga mengenai perbuatan melawan
     hukum dari tertanggung. 
Dasar hukum bentuk asuransi dimaksud nomor 6-11 adalah Pasal 246-286 (peraturan umum bagi semua jenis asuransi) dan ketentuan dalam perjanjian itu sendiri  (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata).[13]


[1] Djoko Prakoso, S.H.., I Ketut Murtika, S.H.” Hukum Asuransi Indonesia “. Hal 259.
[2] Ibid.Hal 261
[3] Prof.DR.H.Man Suparman S, S.H., S.U., “ Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga “( Bandung, PT.Alumni, 2003) Hal 14
[4] Ibid, Hal 17

[6] Djoko Prakoso, S.H., I Ketut Murtika, S.H. Op.Cit. Hal. 7.
[7] Dr. Sri Rejeki Hartono, S.H.,” Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi”.(Jakarta,Sinar Grafika,2001).Hal.14
[8] H.M.N. Purwosutjipto,S.H.”Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia.”(Jkt,Jambatan,2003)
[9] Ibid.Hal 24
[10] Ibid.Hal 25
[11] Ibid Hal 26
[12] H.M.N Purwosutjipto,S.H.,Loc.cit Hal.11
[13] Ibid.Hal.12

Selasa, 28 Juni 2011

MAKALAH HUKUM TATA GUNA TANAH


BAB I
PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang
            Pembaruan agraria sebagai suatu isu, bersifat kompleks dan multidimensi dan oleh karena itu pendefinisiannya tidaklah sederhana. Namun demikian, tanpa bermaksud mnyederhanakan kompleksitas permasalahannya, Pembaruan Landreform pada intinya meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.                  suatu proses yang berkesinambungan artinya dilaksanakan  dalam satu Kerangka waktu , tetapi selama tujuan Pembaruan Agraria belum tercapai Pembaruan Agraria terus diupayakan;
2.                  berkenaan dengan rektrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan;
3.                  dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam, serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Hal ini didukung dengan perubahan kebijakan pertanahan (prorakyat menjadi prokapital) yang terbukti semakin menjauh dari perwujudan pemertaan hasil pembangunan, dan hal itu berarti bahwa semakin sulit untuk mewujudkan keadilan sosial.
           

Berbagai fenomena yang mendukung hal tersebut diatas adalah :
1.         Tanah difungsikan sebagai akumulasi modal yang berakibat terhadap terpinggirkannya hak-hak pemilik tanah pertanian.
2.         seiring dengan perkembangan kapitalisme, nilai tanah hanya dilihat berdasarkan nilai ekonomisnya saja, nilai-nilai non ekonomis menjadi terabaikan.
3.         Perubahan fungsi tanah; tanah sebagai salah satu faktor produksi utama menjadi sarana investasi dan alat spekulasi/akumulasi modal.
4.         Globalisasi ekonomi mendorong kebijakan pertanahan yang semakin adaptif terhadap mekanisme pasar; namun belum diikuti dengan penguasaan akses rakyat dan masyarakat hukum adat/tradisional/lokal terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah.
            Kesalahan utama yang dilakukan oleh  rezim Orde Baru adalah bahwa tanah tidak diperhitungkan sebagai strategi pembangunan, akan tetapi hanya dijadilan obyek untuk berlangsungnya berbagai kegiatan pembangunan. Kebijakan yang propertumbuhan tersebut diatas telah menimbulkan berbagai dampak antara lain:[1]
1)      Tanah semakin langka dan mundur kualitasnya.
2)      Konflik penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk tanah, baik yang bersifat struktural maupun horizontal semakin tajam dan menbingkat kuantitasnya.
Berbagai faktor yang menjadi akar masalah dalam berbagai konflik tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a)      Struktur pemerintahan yang sentralistik mempermudah berlakunya penafsiran tunggal untuk kepentingan rezim yang berkuasa;
b)      Kelembagaan yang ada tidak mampu mendukung tegaknya asas-asas penyelenggaraan negara yang baik dan bersih;
c)      Pasal 33  ayat (3) UUD 1945 ditafsirkan secara longgar dan dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai undang-undang sektoral yang saling tumpang tindih dengan segala akibatnya;
d)      Tidak adanya kemauan untuk mengakomodasi pluralisme hukum yang berlaku dalam masyarakat(hukum positifvshukum adat)
e)      Lebih menghargai formalitas ketimbang substansi (pengingkaran hak masyarakat adat/lokal dan mereka yang tidak dapat menunjukkan alat bukti hak);
f)        Budaya hukum yang tidak mengutamakan harmoni, tetapi bersifat mempertentangkan (pihak kuat vs lemah, pihak yang berkuasa vs rakyat kecil, desa vs kota, dan sebagainya) dengan segala dampaknya.
3)      Kemiskinan dan semakin terbatasnya lapangan kerja, yang antara lain  disebabkan karena alih fungsi tanah, utamanya tanah pertanian, untuk penggunaan nonpertanian (industri, perumahan, jasa/pariwisata, infrastruktur, dal lain-lain).
4)      Semakin timpangnya akses terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah/sumber daya alam, karena perbedaan akses modal dan akses politik.
5)      Semakin terdesaknya hak-hak masyarakat adat/masyarakat lokal terhadap sumber daya alam yang menjadi ruang hidup (Lebensraum)-nya, baik karena diambil alih secara formal oleh pihak lain (dengan atau tanpa ganti kerugian yang memadai) atau karena tidak diakuinya (secara langsung atau tidak langsung) hak-hak masyarakat adat /masyarakat lokal atas sumber daya alam termasuk tanah oleh negara. Ironisnya disisi lain, tanah dalam skala besar yang dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat banyak yang terlantar atau ditelantarkan.[2]

B.   PERMASALAHAN MASALAH
            Dari latar belakang tersebut diatas maka permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
1.   Bagaimanakah Pengertian Landreform itu.
2.   Bagaimanakah Pelaksanaan Landreform di Indonesia.

C.   TUJUAN MAKALAH
1.    Untuk mengetahui dan memberikan gambaran mengenai konsep Landreform
       di Indonesia.
2.    Untuk menambah wawasan dan memberikan kontribusi bagi mahasiswa
       fakultas Hukum

LEGAL OPINION (Pendapat Hukum)


Pati, 6 Juli 2011
Disusun untuk               :   Permohonan Penasihat Hukum
Disusun oleh                 :   Pangestu Ismuarga Wahyu, Tanggal  6 Juli 2011
Hal                               : Permasalahan Perjanjian Klaim Asuransi antara PT. Asuransi Jiwa ...……. dengan Nasabah Asuransi Jiwa .......…..

SUMARY
            Pembatalan polis sering dilakukan sepihak oleh perusahaan asuransi dalam hal terpenuhinya satu atau lebih syarat berikut:
  1. Pemegang polis membrikan keterangan atau pernyataan tidak jujur atau sengaja dipalsukan pada waktu mengisi formulir-formulir yang disiapkan terlebih dahulu oleh perusahaan asuransi. Pemberian keterangan/pernyataan tersebut diberikan sebelum diterbitkannya polis perjanjian)asuransi.
  2. Selambat-lambatnya dalam masa leluasa (grace peroid) (biasa kurang lebih tiga bulan) sejak tertunggaknya pembayaran premi, tertanggung belum juga melunasi pembayaran.
Konsekunsi pembatalan polis berdasarkan alasan butir a, tidak memberikan hak apapun kepada konsumen (tertanggung) untuk menuntut pembayaran, kecuali konsumen dapa membuktikan keterangannya atau pernyataannya diberikan secara jujur dan benar. Sebaliknya pembatalan polis pada butir b, memberi hak kepada konsumen atas pembayaran nilai tunai. Perincian besarnya nilai tunai itu sesuai dengan daftar yang  dilampirkan pada polis. Sangat dianjurkan kepada konsumen untuk meminta penjelasan secara terperinci mengenai perhitungan itu sebelum konsumen menyetujui mengikuti asuransi jiwa. Pastikan pula informasi nilai tunai yang diinformasikan itu tidak berbeda dengan yang dilampirkan pada polis asuransi.
            Dalam praktik perasuransian terdapat fenomena untuk mempersulit pengajuan klaim manfaat asuransi jiwa. Berkas pengajuan klaim sudah dipenuhi pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi (ahli waris ternyata klaimnya ditunda sampai memakan waktu tiga minggu atau bahkan lebih dengan alasan bekasnya tidak lengkap). Tak hanya itu alasan-alasan sebagaimana disebut pada angka 9 a dan b diatas digunakan perusahaan asuransi dengan itikad tidak baik, yaitu menolak klaim yang seharusnya dibayarkan, jika ini sering terjadi, masyarakat konsumen akan semakin jauh dari asuransi jiwa. Lebih baik menyimpan uang di bank yang sewaktu-waktu mudah diambil kembali ketika memerlukan.

FAKTA HUKUM
1.                  Penyelewengan uang pembayaran premi konsumen oleh petugas karyawan asuransi yang berakibat dilakukannya “pemutihan”polis asuransi konsumen dengan kondisi yang baru. Premi yang akan dibayarkan menjadi lebih tinggi dari sebelum dilakukan pemutihan.
2.                  Ketidak adilan substansi syarat-syarat/ketentuan umum polis, yang jika tertanggung mengalami kecelakaan yang berakibat cacat tetap sebagian diberikan santunan sesuai persentase dalam tabel polis dan sebaliknya jika berakibat cacat total tetap, tidak diberikan santunan apapun .
3.                  Penetapan atau pematokan kurs secara sepihak terhadap klaim nilai tunai (menjual polis) dan klaim jatuh tempo (berakhirnya masa pertanggungan) pada polis asuransi jiwa yang dipertanggungkan dengan mata uang asing, tertama US$ (dolar Amerika Serikat), padahal polis dan syarat-syarat/ketentuan umum polis menentukan bahwa pembayaran premi asuransi atau klaim asuransi diperhitungkan menurut tengah Bank Indonesia atau kurs yang berlaku sesuai pengumuman autoritas moneter pada saat jatuh tempo.

ISSUE HUKUM
            Sejumlah perusahaan asuransi melakukan praktik pematokan /penetapan kurs secara sepihak bertentangan dengan polis asuransi jiwa dan syarat-syarat ketentuan umum asuransi jiwa. Padahal, instansi pembina perasuransian, dalam hal ini Direktur Asuransi Direktorat Jendral Lembaga Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia melalui suratnya Nomor s107/LK/1998 Tanggal 24Pebruari 1998. Telah menegaskan bahwa penyelesaian pelaksanaan klaim, perhitungan nilai tunai, atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pihak-pihalk yang dimaksud yaitu tertanggung dan penanggung, supaya dilaksanakan atas dasar perjanjian polis. Selanjutnya Depkeu memberi penegasan bahwa penetapan kurs rupiah /USS pada polis (kontrak asuransi) yang telah disepakati tertanggung dengan penanggung.
ANALISIS ISSUE HUKUM
            Perusahaan asuransi seharusnya melayani dan melindungi sebaik-baiknya konsumen (tertanggung) yang mengalami kejadian ini, bukan dengan melakukan pembatalan polisnya untuk kemudian diikuti dengan pembaruan polis. Pembatalan polis seperti ini tentunya sangat merugikan konsumen. Dengan melakukan pembaruan polis, uang premi yang harus dibayarkan konsumen  menjadi semakin tinggi, apalagi semakin tua usia konsumen (tertanggung), semakin besar premi yang harus dibayarkannya. Tindakan pembatalan polis ini sama saja dengan sikap mengelak dari tanggung jawab yang dibebankan hukum kepada perusahaan asuransi. Bukankah petugas penagih premi, baik perorangan maupun badan hukum bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi? Konsekunsinya tindakan petugas itu menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi. Menyikapi hak konsumen dan informasi produk asuransi jiwa. Seharusnya pihak asuransi jiwa tidak hanya membekali petugas pemasarannya dengan berbagai keunggulan  produk asuransinya. Tetapi juga mengenai ketentuan.syarat-syarat umum polis, tata cara perhitungan premi, dan nilai tunai yang wajib diinformasikan kepada calon konsumen secara jujr dan proporsional. Hendaknya petugas asuransi tidak mendesak konsumen untuk segera mengikuti perjanjain (polis) asuransi jiwa sebelum calon konsumen mempelajari dan memahami betul seluk beluk produk asuransi jiwa yang ditawarkan. Informasi yang ditawarkan secara tidak jujur dan proporsional kepada calaon konsumen, sebenarnya menunjukan adanya dugaan kejahatan penipuan terhadap konsumen.
            Menurut Pasal 7 ayat (1) syarat-syarat umum polis yang terlebih dahulu telah dikeluarkan secara sepihak oleh tergugat dinyatakan bahwa jika pemegang polis menghentikan pembayaran premi, pemegang dapat memilih alternatif “menjual polis” atau “polis bebas premi”. Selain itu tergugat diduga telah menyalahi itikad baik (utmost good faith) dalam asuransi dengan menempatkan dirinya sekaligus sebagai pemegang polis dengan menetapkan polis konsumen sebagai polis bebas premi.[1]

KESIMPULAN
            Manfaat asuransi, yakni sejumlah pembayaran dan/atau kompensasi yang menjadi hak konsumen atau pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran, baik karena terjadinya risiko kematian pada tertanggung maupun berakhirnya masa pertanggungan. Besarnya manfaat yang diperoleh tertanggung atau pihak yang ditunjuk bergantung pada jenis asuransi jiwa yang diikuti. pemahaman konsumen terhadapa produk asuransi jiwa mutlak sangat diperlukan.
            Besarnya premi yang dibayarkan hendaknya dihitung dan dipahami secara teliti oleh konsumen sesuai dengan kemampuan keuangan konsumen. Terlalu mudah menuruti besarnya premi yang ditawarkan petugas asuransi akan membuat kesulita bagi konsumen dikemudian hari, misalnya penunggakan pembayaran premi asuransi.
            Sebaiknya konsumen tetap mewaspadai atas berbagai bentuk pelayanan pembayaran premi yang ditawarkan perusahaan asuransi. Kemudahan pelayanan pembayaran premi seperti penagihan premi kealamat rumah/kantor konsumen, penagihan premi lewat kartu kredit pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk pemasaran asuransi. Persoalan muncul jika petugas membawa uang lari premi tertanggung, dengan demikian polis asuransi dapat terancam batal dengan alasan premi tertunggak. Perusahaan asuransi mematahkan argumentasi konsumen dengan rumusan pasal: Penagihan premi asuransi di alamat penagihan atau melaui cara penagihan lainnya yang diselenggarakan perusahaan asuransi, tidak membebaskan pemegang polis dari kewajibannya untuk selalu melunasi premi asuransi.








[1] ......................, S.H., M.H. "................................."( ............. PT. Citra Aditya Bakti.2003) Hlm....

Minggu, 05 Juni 2011

SOSIOLOGI HUKUM



SOSIOLOGI HUKUM

Bab I Pengantar
Pendekatan hukum positivistik, normatif, legalislitik, formalistik.
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan norma yang harus dipahami dengan meanganilis teks atau bunyi undang-undang atau peraturan yang tertulis. Dalam rangka mempelajari teks-teks normatif tersebut maka yang menjadi sangat penting untuk menggunakan logika hukum (legal reasoning) yang dibangan atas dasar asas-asas, dogma-dogma, doktrin-doktrin, dan prinsip-prinsip hukum terutama yang berlaku secara universal dalam hukum (modern).
Dalam kenyataannya pendekaan ini memiliki kelemahan atau kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.

Pendekatan Hukum Empiris, Sosiologis, Realisme, Konteks Sosial
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya.  Hukum  tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan social yang menafest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normative tetapi secara konteksual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika social dalam rangka seaching for the meaning.
Pendekatan ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai fenomena hukum yang ada melalui alat bantu logika ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek-praktek hukum yang tidak sesuai dengan aturan normative, disparitas hukum, terjadinya deviant behavior, anomaly hukum, ketidakpatuhan (disobedience), pembangkangan hukum, violent, kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah dijelaskan melalui pendekatan ini.

Perbandingan dua model pendekatan hukum
Aspek
Hukum Positivis analitis (Jurisprudential)
Model Sosiologis
Fokus
Peraturan
Struktur Sosial
Proses
Logika
Perilaku (behavior)
Lingkup
Universal
Variabel
Perspektif
Pelaku (Participant)
Pengamat (Observer)
Tujuan
Praktis
Ilmiah
Sasaran
Keputusan (Decission)
Penejelasan (Expalanation)
Sumber : Donald Black. Sociological Justice, 1989 : 21.

Menuju pendekatan hukum yang holistik dan visoner.
Sebagai upaya menuju pemahaman hukum secara holistic dan visoner kiranya diperlukanm adanya pergeseran paradigma (paradigm shift) dimana kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara sinergis dan komplementer. Artinya, pendekatan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah satu, tetapi harus mengambil keduannya secara utuh sehingga akan dapat dilakukan analisis secara holistic dan komprehensif.
Pendekatan hukum yang positistik saja akan menyebabkan hukum akan teralienasi dari basis sosial dimana dimana hukum itu berada. Pendekatan ini semata mungkin akan dapat memperoleh nilai kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum.
Sebaliknya pendekatan hukum empiris, sosiologis, realisme, atau konteks sosial saja akan menyebabkan seolah-oleh hukum tertulis menjadi tidak diperlukan tetapi hanya melihat realitas hukum yang terjadi. Jika pendekatan ini dipakai sebagai satu-satunya alat dalam memahami hukum maka sangat dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hokum bahkan dikhawatirkan tidak lagi diperlukan lagi adanya hukum atau undang-undang sehingga lebih lanjut dapat terjadi anarkisme hukum.

Positivisme Hukum

·          Berkembang pesat pada abd IX sejalan dengan tumbuhnya konsep Negara-negara modern
·          Siostem trias politika yang membagi kekuasaan Negara menjadi tiga dan kekuasaan legislative memproduksi hukum sebanyak mungkin
·          Gerakan liberalisme yang bertujuan untuk melindungi kepentingan individu melalui hukum tertulis
·          Munculnya tokoh pemikir gerarakan positivisme seperti
·          H.L.A Hart
1)      Undang-undang adalah perintah manusia
2)      Todak perlu ada hubungan hukum dengan moral
3)      Sistem hukum adalah logis dan terutup
4)      Penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan
5)      Esensi hukum terletak pada adanya penggunaan paksaan
·          Lon Fuller : ada 8 (delapan) prinsip yang harus diperhatikan dalan substansi hukum positip
·          John Austin : Hukum adalah perintah kekuasaan politik yang berdaulat.
·          Hans Kelsen : Teori Hukum Murni, dan teori Stufenbau.

Paham Positivisme di Indonesia berkembang karena :

1.      Pendidikan hukum di Indonesia lebih mengarahkan kepada tujuan untuk menciptakan sarjana Hukum yang profesional (keahlian hukum yang monolitik). S1 mencetak tukang untuk menerapkan à bagaimana menciptakan SH yang handal dalam profesi hukum, seolah-olah hukum di dominasi Undang-undang à normatik, sehingga realitas hukum dianggap realtif tidak penting.
Profesi Penerap UU
 
Law in abstracto
 
                                                                                                     


 


                                                                                                                 





Imposed from outside
 

  Basic law
 - WvS
 - BW
 - WvK
 

 


Legislatif
 
Oval: UU                                  


 



Civil Law : deduktif : dibuat aturan yang umum yang dibuat untuk menyelesaikan kasus. Jadi hukumnya sama meski kebutuhan masyarakat berbeda-beda dan asumsinya UU pasti sudah bagus.

2.      Pendidikan di Indonesia mewarisi tradisi continental law yang mengikuti civil law
Hukum adalah sesuatu yang sudah ada dalam UU atau perturan tertulis, sehingga sumber hukum hanyalah undang-undang dan di luar itu tidak ada hukum. Hal tak lepas dari sistem hukum Belanda yang dibawa colonial masuk ke Indonesia dengan psrinisp konkordansi. Asumsinya undang-undang tidak boleh diprotes, UU dianggap sudah baik karena pembentuk hukum sudah merancangh dengan sungguh-sungguh.
-         Civil law cenderung empiris / induktifnya tidak digunakan
-         Lobus de droit : hakim adalah mulut undang-undang karena hakim dalam menentukan putusan sudah ditentukan oleh undang-undang, sehingga penemuan-penemuan hukum menjadi miskin

3.      Pendidikan hukum di Indonesia lebih banyak mengajarkan pada fisiologi hukum tapi kurang mengajarkan pada patologi hukum. Kebanyakan yang diajarkan hanya asas-asas dan norma hukum substantive, tetapi ilmu penyakit hukumnya tidak diajarkan sehingga kita tidak terbiasa menganalisis penyimpangan-penyimpangan dalam bekerjanya hukum, padahal hal itu menjadi penting untuk meberikan terapi bagi penyakit hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo
Ada tiga penyebab sarjana hukum Indonesia menganut positifisme :
1.      tidak banyak  melakukan penelitian hukum di lapangan
2.      tidak banyak melakukan kritik-kritik terhadap hukum
3.      beranggapan sistem hukum tidak bisa dirubah

Perkembangan Ke Arah Ilmu Hukum Sosiologis
Memasuki Abad XX mulai muncul pemikiran untuk meberikan penjelasan lebih baik terhadap hekakekat hukum dan tempat hukum dalam masyarakat. Ketidakpuasan terhadap positifisme kian berekembang karena paham tersebut acapkali tidak sesuai dengan keadilan dan kebenaran sehingga muncul gerakan-gerakan untuk “melawan” positifisme. Hal itu tampak dari fenomena yang disebut:
1.      Donald Black à The age of sociology
2.      Morton White à The revolt against formalisme
3.      Alan Hunt à The sociological movement in law.
Keadilan kadang sulit terungkap. Jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim  dalam suatu kasus kadang sulit untuk membuktikan meskipun yakin kalau si pelaku bersalah.
Menurut Gustav Radbruh : hukum harus mengandung tiga nilai idealitas :
1.      Kepastian à yuridis
2.      Keadilan à Filosofis
3.      Kemanfaatan à Sosiologis
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
1.      Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum
2.      Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum
3.      Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum à sebagai tetsachenwissenschaaft yang melihat  law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.

Pohon Ilmu Hukum



 






Bab II Bekerjanya Hukum

 

TEORI BEKERJANYA HUKUM

 (Robert B. Seidman, 1972)



Faktor-faktor sosial  dan
Personal lainnya
 
                        Lembaga
Pembuat
Peraturan
                                                                                              Umpan Balik
                                                       Norma

Umpan Balik                   Norma




Oval: Pemegang 
Peranan
 

                        Lembaga                     Aktivitas
                        Penerap                      Penerapan
                        Peraturan           



 



Faktor-faktor Sosial dan               Faktor-faktor  Sosial  dan

      Personal Lainnya                            Personal Lainnya

Dari  bagan  tersebut  dapat  dijelaskan  bahwa  :
a)   Setiap  peraturan  hukum  memberitahu  tentang  bagaiman  seorang  pemegang  peranan  (role occupant)  itu  diharapkan  bertindak.  Bagaimana seorang  itu  akan  bertindak  sebagai  respons  terhadap  peraturan  hukum  merupakan   fungsi-peraturan-peraturan yang  ditujukan   kepadanya, sanksi-sanksinya,  aktivitas  dari lembaga-lembaga  pelaksana  serta  keseluruhan kompleks  sosial, politik  dan lain-lainnya mengenai dirinya.
b)   Bagaimana  lembaga-lembaga  pelaksana  itu akan  bertindak  sebagai respons  terhadap  peraturan hukum  merupakan   fungsi peraturan-peraturan  hukum  yang  ditujukan  kepada  mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan  kompleks kekuatan  sosial, politik  dan  lain-lainnya yang mengenai  diri mereka  serta  umpan balik   yang datang  dari  pemegang peranan.
c)  Bagaimana  para  pembuat  undang-undang  itu akan  bertindak  merupakan  fungsi peraturan-peraturan  yang mengatur  tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan  sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang  mengenai diri  mereka  serta umpan balik  yang  datang  dari pemegang  peran  serta  birokrasi.

HUKUM SEBAGAI SUB SISTEM SOSIAL
Menurut teori sibenertika Talcoot Parson suatu  sistem social pada hakekatnya merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem social yang saling mengalami ketergantuangan dan keterkaitan sau dengan yang lain.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.
                              Hukum
                  Sosial                politik
                     Ekonomi    budaya




Hukum dan politik saling dominan untuk menjadi yang paling unggul/ dominan/ primer           dalam konfigurasinya.



Hukum dalam kehidupan sistem sosial       hukum menjadi hal yang berpengaruh. Salah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supremasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.



Perbandingan Karakteristik
Karakteristik

Hk. Sosiologi

Sosiologi Hukum

1. Ilmu Induk
1. Ilmu
1. Sosiologi
2. Sifat kajian
2. Hub. Noramtik/logistik
2. Kusalitas (exprerience)
3. Titik tolak
3. Sollen (ius)
3. Fakta (sein)
4. Teori
4. Ajaran pandangan ttg norma
4. Hub. antar gejala sistem
5. Kedudukan Hk.
5. Sbg titik tolak / orientasi
5. Sbg. Alat uji
6. Obyek kajian
6. Norma
6. Perilaku
7. Metode prosedur
7. Ilmu Hukum
7. Sosiologi
8. Logika
8. Deduktif
8. Induktif

Bab II Obyek Sosiologi Hukum


Obyek Sosiologi Hukum

·          Beroperasinya hukum di masyarakat ( ius operatum) atau law in action dan pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat.
·          Dari segi statiknya (struktur) : kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok social dan lapisan sosial.
·          Dari segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi dan perubahan sosial.
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto:
1)        Mempelajari hukum sebagai alat pengendali sosial ( by government ).
2)        Mempelajari hukum sebagai kaidah sosial. Kaidah moral yang dilembagakan oleh pemerintah.
3)        Stratifikasi sosial dan hukum.
4)        Hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto :
1.           Hukum dan struktur sosial masyarakat. Hukum merupakan Social Value masyarakat.
2.           Hukum, kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya.
3.           Stratifikasi sosial dan hukum.
4.           Hukum dan nilai sosial budaya.
5.           Hukum dan kekerasan.
6.           Kepastian hukum dan keadilan hukum.
7.           Hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial.

BAB III MASUKAN PEMIKIRAN SOSIOLOGI HUKUM




Analitical Yurisprudence              oleh  John Austin :

Melahirkan kodifikasi yang bersifat tertutup.
Dilanjutkan Hans Kelsen dengan Teory Stuffen Baw.
                                    Grundnorm
 


Hukum adalah bangunan norma-norma yang bersifat hierarkhis, ( lex superior derogat lege inferior),( lex specialis derogat lege generalis)
-melahirkan faham positifisme/ formalisme.
Historical Yurisprudensi: Von Savigny,
-Hukum adalah cermin dari jiwa rakyatnya maka muncul istilah-sulis supreme juristex, dan hukum harus dilihat dari sosial budaya masyarakat.
-Kekuasaan membentuk hukum ada pada rakyat maka hukum itu ditemukan seiring dengan perkembangan masyarakat ( dari hukum sebagai sistem masyarakat sosial masyarakatnya.
-Gerakan melawan formalisme, di Inggris tokohnya adalah Jeremy Bentham dll.
Sosiologische Yurisprudence ( Roscoe Pound)
-Ilmu Hukum yang sosiologis
-Akan terjadi pembangkangan sosial kalau hukum dibuat tidak berdasar pada kehidupan sosial masyarakatnya.
-Pada perkembangannya aliran ini timbullah aliran realisme hukum (di Amerika).
Legal Realisme (Amerika)
Apa yang ada dalam kenyataan,
Tool as Social Engeenering berubah daripembentuk UU ( Legislator) , menjadi hakim.

Critical Legal Study Movement: Gerakan Studi Hukum Kritis.
-Lahir di Harvard, muncul atas ketidaksukaan mereka akan determinannya politik.
Contoh: dalam perang Vietnam.
-Pelopornya Roberto Mangabeira Unger
-Tema : menolak tradisi hukum Liberal yang dominan.
Adanya ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh hukum.
-Elektis ( pendekatan yang tidak konsisten)
Sintesis ( dua pendekatan yang digunakan bersamaan).
-Membuka teori Obyektivitas hukum ( kaya kritik, dikembangkan oleh orang positifisme).
( hukum tidak bisa dipisahkan dari politik).
-Hukum direkonstrusi kembali.
-Hukum itu dapat dinegosiasikan.
-Hukum itu subyektif, tergantung pada politik dan kekuasaan.
-Hukum mengandung Hidden Politikal Interest.
-CLS ,menggugat keabsahan hukum.
-Mendekonstruksi hukum.

TEORI-TEORI SOSIOLOGI :

                                    Teori-teori hukum
Sos Hukum                                                                  Emile Durkheim
                                   Teori-teori sosiologis
                                                                               Max Weber
Emile Durkheim oarng Perancis, menjelaskan bahwa hkum harus dilihat dari prespektif solidaritas yang ada di masyarakatnya.
                               Solidaritas mekanis ( mechanical solidarity)
Masyarakat           
                              Solidaritas organik ( organic soidarity)
Solidaritas mekanis ( seperti mesin otomatis) berbeda dengan solidaritas organis ( ikatan terjadi karena fungsi).



                                          Gemeinschaaft      bertype : -konsensus ( Talcott Parson) Ferdinant Tonies                  ( sederhana)                      -paguyuban ( joyo diguno)
                                          Gesselschaaf                        -simple society( kuutza)



Gesselshaaft              complex society.
                                         ( modern)
                                                                       
                                  -Hukum bersifat restitutif karena pelanggaran terhadap hukum                     dipersonalisasikan terhadap si korban , srhingga hukum melin-
                                  ngi kepentingan individu, hukum untuk mengganti kerugian in-
                                  dividu ( perdata).
                                  -conflict : disosiasi tinggi
                                  -patembayan
                                  -moshav (Ricard Swartz).



Masyarakat dengan solidaritas mekanis bahwa setiap pelanggaran hukum dianggap sebagai ancaman bagi kelompoknya sehingga harus ditekan, diharapkan tidak terjadi lagi, hukumnya relatif represif      pidana, artinay kalau kita hendak melihat hukum-hukum yang ada, maka harus melihat dulu susunan masyarakatnya, akan tetapi bukan berarti di masyarakat gemeinschaaft tidak ada hukum perdata, hanya hukumnya cenderung ke pidana begitu juga sebaliknya.
Jadi teorinya Richard Swartz justru kebalikan dari teorinya Emile Durkheim.

 

Bab IV STRUKTUR SOSIAL

Struktur Sosial dalam masyarakat terdiri dari :
1.        Social Norm.
2.        Social institution
3.        Social Stratification.
4.        Social Group.
Social Control maksudnya supaya semua orang punya perilaku sesuai harapan yang menimbulkan komformitas social yaitu pola perilaku yang sesuai dengan norma sehingga tercapai tujuan diberlakukannya suatu kaidah sosial.
Kenyataannya sering terjadi kondisi-kondisi nonconformity, sehingga kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kekuasaan negara tidak sesuai harapan yang ada.

Kontrol social dapat dilakukan oleh masyarakat (social control by society) maupun oleh Negara (social control by government). Kontrol oleh masyarakat melalui kaidah social non formal sementara oleh Negara dilakukan melalui kaidah social bersifat formal.
Dunia kenyataan                               dunia ideal
Das sein                                            das sollen

Norma
Antara ideal dan nyata


 

Perilaku yang disebut conform
Kaidah sosial dan Hukum sebagai social Kontrol.
Social Control merupakan aspek normatif dalam kehidupan sosial.
Kontrol bertujuan agar perilaku masyarakat antar apa yang seharusnya ( nilai ideal) yang terumuskan dalam norma.
“Donald Black”



( Social Control is Quantitatif       variabel kuatitatif, tidak konstan dan tidak ajeg)
The Quantity of law varios Intime and Place: Kuantity hukum bervariasi sesuai waktu dan tempat.
Contoh : Pasal 534  bahwa memperlihatkan alat kontrasepsi diddepan umum, dipidana.
Terjadi tarik-menarik antara hukum dan kontrol sosial.
-Hukum menguat ketika kontrol sosial lain melemah.
-Hukum melemah ketika kontrol sosial menguat.
Apakah dimungkinkan sama ?
-Dapat dimungkinkan karena akan memperkuat,  namun ini dapat dikatakan mustahil, karena hukum merupakan Ultimum Remidium, hukum sebagai alternatif terakhir setelah kontrol sosial tidak mempan.
Richard schwartz.
-Kuutza ( kolektivisme) yang lebih efektif adalah kontrol sosial secara internal.
-Mashar ( individualistis) yang efektif, kontrol sosial melalui hukum.
   Kaidah Sosial dan Kaidah Hukum sulit dibedakan :
-Karena keduannya teroperasi secara bersama dalam masyarakat.
-Ke-2nya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol sosial.
-Terjadi saling tarik diantara ke-2nya.
Leopad Pospisil
Kaidah dinamakan hukum jika memenuhi :
( atribut of authority)
-Kaidah itu dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.
(atribut attention)
-Bahwa kaidah itu mempunyai tujuan dan berlaku secara unversal.
-Kaidah berlaku secara universal dan tidak untuk sementara waktu.

HUKUM DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.
                              Hukum
                  Sosial                politik
                     Ekonomi    budaya




Hukum dan politik saling dominan untuk menjadi yang paling unggul/ dominan/ primer           dalam konfigurasinya.



Hukum dalam kehidupan sistem sosial       hukum menjadi hal yang berpengaruh.
Slah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supremasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.
Daniel S. Lev.:
Politik adalah sistem yang primer dan hukum sebagai pengikutnya ( kehidupan negara berkembang/ negara bekas jajahan).
Contoh : Indonesia di masa ORBA.



-ORLA         Politik dominan dan hukum menyesuaikan.



-ORBA            Ekonomi dan hukum alat melegitimasi ekonomi.



-Orde Refo                  Politik dominan dan hukum menyesuaikan, walau agenda awal reformasi untuk supremasi hukum.
Mahfud M.D.
“Hukum Produk Politik”

Pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum

Variabel bebas/ pengaruh                     Variabel tergantung/ tergantung.



Konfigurasi politik                               karakter produk hukum



Demokratis                                          responsif/ otonom, contoh kebebasan hakim.



Non demokratis/otoriter                                  konservatif, ortodoks. progressif
Ciri-ciri demokratis:
-Peran serta publik dalam pembuatan kebijakan negara/ publik.
-Badan perwakilan menjalankan fungsi dalam pembuatan kebijakan.
-Pers bebas sebagai fungsi kontrol.
Ciri-ciri hukum yang responsif atau otonom:
-Hukum memenuhi kebutuhan kepentingan individu dan masyarakat.
-Proses pembuatan hukum partisipatif.
-Fungsi hukum sebagai instrumen pelaksana kehendak rakyat.
-Interpretasi hukum dilakukan oleh yudikatif.
Ciri-ciri konfigurasi hukum yang otoriter :
-Pemerintah atau eksekutif dominan.
-Badan perwakilan sebagai alat justifikasi ( tukang stempel).
Pers yang tidak bisa bebas.
Ciri-ciri konservatif:
-Hukum untuk memenuhi visi politik penguasa.
-Pembuatan hukum tidak partisipatif.
-Fungsi hukum sebagai legitimasi program penguasa.
-Hukum abstrak interpretasi penguasa sesuai dengan visi politiknya.






                        Hukum respresif      Hukum otonom       Hukum responsif



Tuj. Hukum     ketertiban                 keabsahan               kompetensi(kewenangan)
Legitimasi       perlind. Masy&        kebenaran               keadilan
                        Dasar alasan             prosedural               substansial



                       Adnya negara
Peraturan2      Keras, terperin-        dibuat dengan          tunduk pada asas2 hukum
                       ci namun lunak        teliti & mengi-         + kebijakan
                       dan mengikat           kat pada yang          
                       pembuat perat.         Membuat & di-



                                                        atur.            
Alasan            bersifat keras,          melekat secara           sesuai dengan tujuan merupa-
                      Ad hoc, tepat&         ketat pada oto-           kan perluasan dari kompeten



                       Tersendiri.               Ritas hukum.             Si legislatif            tujuannya.
Diskresi         Meresap dila-           dibatasi oleh a-          diperluas, tapi dipertanggung
                      Kukan sesuai            turan, pengesa-          jawabkan demi tujuan.
                      Denagn kesem-        han wewenang 



                      Patan yang ada
Pemaksaan    Meluas, pemba-       dikendalikan o-          dicari kemungkinan, kira-kira
                     tasnya lunak.             Leh pembatasan         insentifdst yang diciptakan
                                                       hukum.                       Sendiri sesuai kewajiban.



Politik          Hukum berada           hukum terlepas          aspirasi hukum dan politik 
                    Di bawah kekua-        dari kekerasan            terintegrasi menjadi satu-ke-



                    saan politik.                Politik.                       Satuan



Bab V Law and Social Changes

PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM ( SOCIAL CHANGE ).
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan sosial, hanya prosesnay ada yang cepat, ada yang lambat.
Contoh: Orang Asmat beda dengan orang-orang kota.
Perubahan yang terlalu cepat, sehingga kadang hukum sulit untuk mengikutinya.
Robert Sutterland, 4 Faktor yang menyebabkan “Social Change”:
·        Karena ada proses inovation/  
·        Invention :  penemuan teknologi di bidang industri, mesin dst.
·        Adaptation : adaptasi yaitu suatu proses meniru suatu cultur, gaya  yang ada di masyarakat lain.
·        Adopsim: ikut dalam penggunaan penemuan teknologi.
Perubahan sosial adalah perubahan yang bersifat fundamental, mendasar, menyangkut perubahan niali sosial, pola perilaku, juga menyangkut perubahan institusi sosial, interaksi sosial, norma-norma sosial.
-Hubungan antara Social Change dengan hukum:
hukum harus mengiuti perubahan sosial.







Hukum              Social Change       hukum akan merespon perubahan sosial jika ada sosial change, masalahnya hampir sebagian hukum tidak selalu bisa mengikuti perubahan sosial.Efektivitas hukum sebagai tertib sosial : hukum untuk sosial control.
Pengendalian Sosial, menurut S. Rouck yaitu suatu proses/ kegiatan baik yang bersifat terencana atau tidak yang mempunyai tujuan untuk mendidik (edukatif), mengajak (persuasif), memaksa (represif), agar perilaku masyarakat sesuai dengan kaidah yang berlaku ( konform), sehingga hukum sebagai Agent of Stability ( hukum sbg penjaga stabilitas). Pada suatu ketika hukum ada di belakang ( tertinggal).
-Perubahan Sosial.
Adanya perubahan sosial yang cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti disebut hukum sebagai Social Lag yaitu hukum tak mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat, atau disebut juga disorganisasi, aturan lama sudah pudar tapi aturan pengganti belum ada.
-Anomie yaitu suatu kondisi di mana individu atau masyarakat tidak bisa mengukur apakah suatu perubahan dilarang atau tidak, malanggar hukum atau tidak.
-Hukum sebagai pelopor perubahan “ Agent of Change”
Setiap perubahan sosial menuntut perubahan hukum palin tidak ada dua institusi:
1.      Lembaga Pembentuk Hukum.
2.      Lembaga pelaksana Hukum.
Perubahan hukum tidak harus dimaknai perubahan UU atau bunyi pasal.
Hukum Modern:-Hukum tidak hanya merespon perubahan sosial yang terjadi tapi juga merespon hukum masa depan ( futuristik).
Common Law : hukum sebagai Judge Made Law.
Civil Law : yang melakukan perubahan hukum adalah Legislatif.
Lembaga Legislatif lebih berperan sebagai politik daripada eksekutif.
Contoh Pasal 534 KUHP : mematikan penegak hukum : secara normatif ada aturannya tapi prakteknya tidak berfungsi : dilarang mempertontonkan alat kontrasespsi di depan umum.

Roscoe Pound berpendapat bahwa hukumm sebagai alat perubahan sosial, sedangkan Karl Marx justru pendapatnya bertentangan yaitu bahwa perubahan sosial tidak mungkin diciptakan oleh hukum, tetapi teknologi dan ekonomi. Hukum merupakan suprastruktur di atas ekonomi dan teknologi.
Hukum sesungguhnya hanya institusi yang mengikuti perubahan sosial.
Menurut Von Savigny, hukum bukan merubah konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial.
Menurut Summer, ia tdak menyetujui hukum sebagai perubah sosial, menurutnya setiap perubahan sosial terjadi “ mores” yaitu aturan tidak tertulis yang hidup di masyarakat.Jadi hukum hanya melegalisasi mores menjadi hukum.
Hukum tidak sekedar produk masyarakat, tapi bisa dibentuk oleh pembentuk hukum itu sendiri, hakim dst. Jadi hukum bukan semata-mata tumbuh dalam masyarakat secara alami.
Menurut Roscoe Pound, bahwa hukum sebagai alat perekayasa sosial, contoh: hakim merekayasa sosial, terjadi di negara Common Law sedang di negara Civil Law hukum dibentu oleh para pembentuk hukum.
Dalam konsep John Austin, hukum adalah perintah dari kedaulatan, hukum sebagai instrumen yang melakukan/ memenuhi kebutuhan publik.
Pada UU yang baru, dimasukkan hal-hal supaya masyarakatnya berubah, contoh: adanya pengaruh dari luar pada UU HaKI, UU Kepailitan, dengan maksud untuk merubah perilaku orang dibidang HaKI, Kepailitan dst, karena pada awalnya orang Indonesia tidak mempunyai budaya untuk melindungi hak kekayaan intelektual, denagn beranggapan bahwa hal itu karunia Tuhan yang tidak perlu dipertahankan perlindungannya. Akhirnya  dalam UU itu diberi muatan agar masyarakat mengetahui hal itu , ada kemungkinan gagal atau mungkin berhasil dalam hal ini. Jika internalisasi berhasil, maka akan diterima oleh masyarakat tapi jika tidak berhasil yang terjadi “ soft development” (perkembangan yang lunak) atau hampir tidak ada pengaruhnya terhadap masyarakat.
Hukum sebagai sarana perubahan sosial, Law As Tool of Social Engeenerig/ social planing.
Hukum diberi muatan nilai baru yang bertujuan untuk mempengaruhi atau menimbulkan perubahan sosial secara terarah dan terencana.
The Process of Social Engeenering by The Law









Nilai baru




Hukum/ UU                     Role expectation

       feed                              Implementasi
       back
                                          Role performance
                                          Social change
Cara melakukan perubahan sosial ( menurut Soerjono Soekanto) :
1.      Memberi imbalan ( reward) bagi pemegang peran.
2.      Mermuskan tugas penegak hukum untuk menyerasikan peran dan kaidah hukum.
3.      Mengeliminasi pengaruh negatif pihak ke-3.
4.      Mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap dan pemegang peran.
                         1. direct change
Hukum
                         2 . Indirect change
Ad 1), Dengan adanya peraturan keputusan baru maka ada perubahan nlai, pola perilaku lembaga-lembaga dst yang seketika / langsung.
Contoh: yurisprudensi MA, hak mewaris janda sama dengan anak kandung: mematahkan pemikiran bahwa warisan hanya untuk yang berhubungan darah.
Contoh lain: UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa syarat usia kawin di hukum Adat tidak ada juga di hukum Islam.
Nilai Sosia adalah suatu persepsi/ anggapan yang ada pada sebagian besar masyarakat mengenai apa yang dianggap buruk, boleh, etis, sopan dst.
Ad 2). Indirect change : terjadi ketika hukum hanya memfasilitasi tumbuhnya Agent of Change.



Contoh: UU No 20 tahun 2003 tentang lembaga pendidikan     orang-orang yang pintar,kuat, terdidik, diharapkan bisa mendorong perubahan masyarakat mendatang. Semakin tidak terdidik sesorang, semakin sulit melakukan perubahan sosial, karena cenderung untuk curiga, tidak bisa megakses ke luar, cenderung mempertahankan status quo, tapi kalangan pendidikan justru sebaliknya yaitu cenderung progressif untuk melaukan perubahan sosial.



Menurut Chamblis & Seidman 1971        Law order and Power.
Proses pelembagaan:  (1) efektifitas                                 (2) kekuatan menentang



   Ditentukan oleh 3           penanaman unsur baru                 dari masyarakat.
   Faktor                      (3) kecepatan (jangka waktu)
                                         Menanam unsur baru.
Ad 1) Seberapa jauh dalam menanamkan nilai-nilai itu ke dalam perilaku masyarakat.
Ad 2) Sejauh mana resistensi masyarakat terhadap perubahan baru jika eksistensi makin kuat maka pelembagaannya makin berhasil.
Ad 3) Dibagi waktu yang digunakan untuk menanam unsur baru tersebut.
Faktor yang menetukan keberhasilan pencegahan hukum/ efektifitas hukum ada 4 :
1, Pengguanaan situasi yang dihadapi dengan baik.
2, Analisa terhadap nilai-nilai yang ada.
3, Verifikasi hipotesa.
4, Pengukuran efek UU yang ada.
Menurut William Evans : prasarat yang menentukan keberhasilan hukum sebagai alat perubahan sosial :
1.      Apakah sumber hukum yang baru memiliki kewenangan dalam wibawa.
2.      Apakah hukum yang baru telah memiliki dasar pembenar yang dapat dijelaskan.
3.      Apakah isi hukum yang baru telah disiarkan sedcara luas.
4.      Apakah jangka waktu peralihan yang digunakan telah dipertimbangkan dengan baik.
5.      Apakah penegak hukum menunjukkan rasa ketertarikannya terhadap UU yang baru.
6.      Apakah pengenaan sanksi menjadi efektif.


Bab VI

KEPATUHAN HUKUM

DAN KEEFEKTIFAN HUKUM


Keefektifan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.

Soerjono Soekanto : 1993 : 5

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan / keefektifan hukum:
1.      Hukum/UU /peraturan.
2.      Penegak hukum ( pembentuk hukum maupun penerap hukum).
3.      Sarana atau fasilitas pendukung.
4.      Masyarakat
5.      Budaya hukum (legal cultur).

Ad 1) Kalau hukum itu baik, maka ada kejelasannya penafsiran, sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal.
Ad 2) Semua Capres, janji penegakan hukum, berantas KKN, tapi persoalannya dimuali dari orang kemudian sistemnya.
Ad 3) Legal officer tidak profesional, semuanya menjadi tidak berfungsi maksimal. Sebetulnya ke-2 unsur di atas sama fungsinya.Penegak hukum yang baik, kalau peraturannya tidak memadai maka tidak akan berjalan dengan baik.
Ad 4) Masyarakat ( kesadaran hukum).
                                  Hukum
Budaya hk.



                         Kesadaran hukum           variabel perantara yang menghubungkan hu-
                                                                Kum dengan perilaku masyarakat.



                          Perilaku hukum               artinya satu variabel yang akan menentukan
                                                                 Apakah hukum yang ada akan menjadi peri-
                                                                 Laku hukum/ tidak, sehingga kesadaran hu-
                                                                Kum menjadi faktor yang paling menentukan.
Masalahnya banyak masyaraktat yang tidak memiliki kesadaran hukum sehingga kadang hukum hanya berhenti sampai pengaturan saja.
Contoh : sahnya perkawinan/ syarat nikah, bagaiman ? harus sesuai ketentuan UU Perkawinan, untuk itu perlu kesadaran hukum.
Dalam teorinya Berl Kutschinky, kesadaran hukum yaitu variabel yang berisi 4 komponen yaitu:
1.      Komponen Legal Awareness yaitu aspek mengenai pengetahuan terhadap peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi teori hukum menyatakan bahwa ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut teori residu semua orang dianggap tahu hukum tapi kenyataannya tidak begitu, maka perlu Legal Awareness. Contoh ketika akan melakukan kontrak, tahu dulu UU-nya.
2.      Legal Acquaintances : pemahaman hukum. Jadi orang memahami isi daripada peraturan hukum, mengetahui substansi dari UU.
3.      Legal Attitude ( sikap hukum). Artinya kalau seseorang sudah memberikan apressiasi & memberikan sikap : apakah UU baik/ tidak, manfaatnya apa ? dst.
4.      Legal Behavior ( perilaku hukum), orang tidak sekedar tahu, memahami tapi juga sudah mengaplikasikan. Banyak orang tidak tahu hukum tapi perilakunya sesuai hukum begitu juga banyak orang tahu hukum tapi justru perilakunya melanggar hukum. Bahwa orang yang memiliki kesadaran hukum yang rendah, misal jika menggunakan skor 4-5, sedang yang tertinggi skor 7-10 dst.Bahwa belum tentu ketentuan pertama menjadi prasarat ketentuan berikutnya.Hal yang lebih ideal, jika ke-4 ketentuan memenuhi sarat. Asumsinya hal di atas dalam keadaan normal      ada proses sosialisasi hukum, penyuluhan, pendidikan hukum dst.
Mengapa orang patuh pada hukum?
Menurut Robert Biersted, 1970, The Social Order, Tokyo: Mac Graw Hill Kogakusha Ltd, p. 227-229.
Proses kepatuhan seseorang terhadap hukum kemungkinan adalah:
1.Indoctrination: penanaman kepatuhan secara sengaja.
2.Habituation : pembiasaan perilaku.
3.Utility ;pemanfaatan dari kaidah yang dipatuhi.
4.Group Indentification: mengidentifikasikan dalam kelompok tertentu.
Menurut Herbert C. Kelman 1966, Compliance, identification.
Leopold Pospisil 1971, Antropology of Law, Dasar-dasar Kepatuhan Hukum:
1.      Compliance : patuh hukum karena ingin dapat penghargaan dan menghindari sanksi.
2.      Identification : menerima karena seseorang berkehendak.
3.      Internalization : menerima/ diterima oleh individu karena telah menemukan isi yag instrinsik.
Menurut ( E. Howard& R.S. Summer 1965):
Faktor yang mempengaruhi keefektifan hukum:
1.      Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran hukum itu dilihat/ disidik. Makin mudah makin efektif.Contoh :Pelanggaran narkoba (hukum pidana) lebih mudah dari pada pelanggaran hak asasi manusia(HAM).
2.      Siapakah yang bertanggung jawab menegakkan hukum yang bersangkutan. Contoh narkoba: tanggung jawab negara : leih efektif, HAM : taggung jawab individu/ warga : kurang efektif.
Syarat agar hukum efektif (ibid) :
1.      UU dirancang dg baik, kaidahnya jelas, mudah dipahani & penuh kepastian.
2.      UU sebaiknya bersifat malarang ( prohibitur) dan bukan mengharuskan/ membolehkan ( mandatur).
3.      Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan.
4.      Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan( sebanding dengan pelanggarannya).
5.      Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat.
6.      Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral.
7.      Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dg baik, menyebarluaskan UU, penafsira seragam dan konsisten.